Iklan Jadul Ini Jadi Bukti Persib Sejak 'Baheula' Sudah Jadi Objek Komersial


Tak disangsikan lagi Persib Bandung merupakan salah satu tim sepak bola yang memiliki nilai komersial cukup tinggi. Ada banyak fakta dan bukti yang menunjukkan tingginya nilai jual Pangeran Biru.

Di antaranya rating televisi setiap Persib bertanding yang selalu masuk dalam daftar teratas. Seperti dikutip dari arsip berita Liputan6.com, Persib tercatat masih jadi klub paling populer berdasarkan rating televisi selama kompetisi ISC A 2016 berlangsung.

Direktur Utama PT Gelora Trisula Semesta (GTS), Joko Driyono, mengatakan, Persib yang berada di papan tengah klasemen punya daya tarik yang besar di hati pecinta sepak bola Tanah Air.

Laga Persib melawan Persija Jakarta di Stadion GBLA menjadi pertandingan yang paling banyak ditonton. Laga yang disiarkan SCTV itu mendapat rating sebesar 4,4.

Dengan rating yang tinggi, Persib bisa menjadi klub yang paling banyak meraup uang dari PT GTS. Pasalnya, PT GTS untuk memberikan additional revenue sebesar Rp15 miliar.

"Uang itu menjadi bentuk apresiasi rating televisi terhadap klub-klub. Nantinya, uang itu akan didistribusikan dari klub yang mempunyai rating tertinggi hingga terendah," kata Joko.

Baca juga: Persib Akan Bangun Markas Baru nan Mewah di Gedebage

Untuk mencapai titik tertinggi dalam urusan bisnis, tentu bukan semata-mata karena peran orang-orang di dalam struktur perusahaan PT Persib Bandung Bermartabat (PBB) semata. Ibarat mata rantai, Persib pun membutuhkan peran pihak kedua, ketiga dan seterusnya.

Dari banyak pihak yang selama ini mendukung eksistensi Pangeran Biru hingga jadi klub paling dikenal dan dilirik banyak sponsor, bobotoh harus diakui adalah alasan utamanya.

Kalau boleh meminjam 'quote' dari mantan Direktur Marketing dan Promosi PT PBB, Muhammad Farhan. Bobotoh adalah kekuatan utama Persib dalam upaya mengembangkan diri sebagai klub profesional.

Jumlah bobotoh Persib diperkirakan mencapai lebih dari 5 juta orang dan itu kata Farhan, selamanya akan jadi angka fantastis di atas kertas belaka jika tak pernah diberdayakan oleh pengurus atau manajemen.

Sebagai klub sepak bola Persib sebenarnya 'terlambat' menyadari potensi besarnya. Sebab kalau mau sejak era Perserikatan pun, Pangeran Biru bisa melangkah jadi klub profesional yang tak perlu menunggu ketukan palu pengesahan anggaran dari anggota dewan Kota Bandung untuk memperoleh kucuran dana demi mengikuti sebuah kompetisi.

Itu tentu hanya anggapan dan opini subyektif karena beda dulu, beda sekarang. Ada banyak faktor yang membuat klub Perserikatan lebih 'nyaman' dengan status amatirnya. Ibaratnya daripada susah-susah cari sponsor ke sana ke sini, mending menunggu kucuran duit APBD.

Frame kebanyakan pemain sepak bola saat itu pun bukan melulu soal uang, tapi kebanggaan daerah dan tentu saja mendapatkan jaminan bekerja sebagai PNS, apalagi jika sampai membawa Persib juara. 

Kembali ke soal nilai komersial Persib yang bikin klub lain penasaran dan (mungkin) iri, tahukah Anda jika Persib sejak zaman bareto atau baheula (dahulu) pun sebenarnya sudah diendus para pelaku usaha sebagai objek komersial yang bisa membantu mendatangkan profit lebih.

Dokumen iklan sepatu di koran lokal pada 1962 menunjukkan dan membuktikan semua itu. Dalam iklan tersebut pemasang iklan 'menjual' nama Persib, tujuannya tentu saja agar brand mereka dianggap berkualitas.

"2 Pemain dari Persib Bandung jang terpilih ke Asian Games memakai Sepatu bola HAPPY. Pemain2 jang tjerdik, tentu pilih Sepatu-bola merk HAPPY. Sedia Ukuran Compleet. Sportinghouse" demikian tulisan dalam iklan tersebut dan tak lupa memuat nama toko penyedia dan alamatnya yang tertulis 'HAPPY STORE' Braga 32.

Iklan sepatu 'HAPPY' di media cetak pada tahun 1962. via Google Images

Selain iklan sepatu 'HAPPY' tersebut tentu ada banyak momen dan bukti lainnya yang menunjukkan jika sejak dulu Maung Bandung adalah media promosi yang menjanjikan. Paling tidak itu mungkin dirasakan oleh artis serba bisa asli Sunda, Hetty Koes Endang yang menggandeng Adjat Sudrajat yang namanya meroket dan jadi ikon Persib pada pertengahan 1980-an.

Bahkan dalam cover album berjudul Resah dan dirilis pada 1986 itu, foto Adjat sengaja dipasang bersama Hetty yang terlihat sedang berada di studio rekaman. Bahkan nama Adjat pun terlihat disetting agar tampak lebih menonjol di cover album tersebut karena ditulis di depan.

Demi kepentingan pasar, pihak Musica Studio memilih menulis "Duet Adjat Sudradjat & Hetty Koes Endang". Peran Adjat di album tersebut sebenarnya lebih tepat disebut duetnya Hetty. Terbukti setelah itu, Adjat memilih tak melanjutkan kariernya di musik dan lebih suka berkarya di habitatnya di lapangan hijau.

Sampul album duet Adjat Sudrajat dan Hetty Koes Endang. via Google Images

Persib memang terlahir bukan sekadar menjadi klub sepak bola. Persib adalah sebuah kenangan dan harapan, termasuk dalam hal ekonomi. Persib selama ini buktinya selalu menawarkan dan memberikan berkah bagi banyak orang.

Untuk membuktikannya, (mungkin) tak perlu capek-capek melakukan survei berdasarkan perhitungan ilmu statistika yang ribet. Contoh sederhananya bisa Anda tanyakan kepada seorang pedagang gorengan, baju, atau penjual rokok di sekitar stadion.

Tulisan artikel di HU Pikiran Rakyat, pertengahan Juni lalu adalah gambaran bagaimana banyak orang yang selama ini cukup menggantungkan harapannya kepada sepak bola dan Persib. "No Persib, No Money..." demikian judul tulisan artikel tersebut yang juga dimuat di laman online PR (klik disini untuk membaca artikelnya).(*)

Komentar