Pemain PSM dan Persib terlibat aksi saling pukul di semifinal Perserikatan 1990. via Google Images |
Bagi bobotoh Persib Bandung dan suporter PSM Makassar yang sudah mengikuti perkembangan masing-masing klub sejak era kompetisi Perserikatan. Setiap kedua tim bertemu, seolah akan membawa memori kita kembali ke belakang, terutama ke masa kompetisi Perserikatan pada era 1990-an.
Stadion Andi Matalatta, Makassar, akhir pekan ini seperi diketahui akan jadi arena pertarungan dua klub tradisional di Indonesia tersebut. Duel PSM kontra Persibsaat ini mungkin tak sepanas dan bernilai jual tinggi seperti laga Persib kontra Persija Jakarta.
Tapi jauh sebelum Maung Bandung dan Macan Kemayoran dicap musuh bebuyutan (lebih karena rivalitas masing-masing kelompok suporter). Persib dan PSM merupakan wajah dari rivalitas sesungguhnya jika berkaca pada panasnya pertarungan kedua tim di era Perserikatan. Kalau boleh diurutkan, secara tradisional tim yang jadi musuh utama Persib adalah PSMS Medan, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya.
Persija kendati seringkali menyulitkan Persib, tapi di era Perserikatan mereka tak masuk hitungan karena (maaf) saat itu Macan Kemayoran meski dihuni banyak pemain bagus dan langganan timnas macam Rachmad Darmawan, Kamarudin Betay, dan lainnya. Mereka belum memiliki suporter fanatik dalam jumlah besar layaknya Persib, PSMS, PSM, dan Persebaya. Kehadiran penonton dari masing-masing tim ketika itu tentu jadi bumbu penambah rasa di lapangan.
Maung Bandung dan Juku Eja di masa itu adalah dua klub yang setiap bertemu selalu menciptakan drama di lapangan. Talenta lokal masing-masing tim saat itu jadi jaminan kenapa duel Maung Bandung kontra Juku Eja tak kalah menarik dan ketatnya dibandingkan perseteruan Persib dengan PSMS.
Dari beberapa kali pertemuan Persib dengan PSM di kompetisi Divisi Utama Perserikatan, pertarungan di Perserikatan 1990, 1992, dan 1994 bisa dikatakan yang paling menarik karena selain menyajikan tontonan aksi adu skil dan teknis kedua pemain, tak jarang adu fisik terjadi di lapangan.
Semifinal Perserikatan 1990, sebagian bobotoh mungkin masih ingat saat para pemain kedua tim terlibat aksi baku hantam di lapangan. Skuat Persib yang saat itu masih diperkuat Adjat Sudrajat akhirnya sukses mengatasi permainan menjurus kasar yang diperagakan pasukan Juku Eja dengan skor telak 3-0.
Dua tahun berselang, seolah membawa dendam lama, bobotoh dibuat terkejut oleh permainan penuh motivasi Juku Eja di semifinal Perserikatan 1992. Kaharudin Cs yang dipimpin pelatih legendaris asal Makassar Syamsudin Umar berhasil mengubur harapan Persib mempertahankan gelar juara Perserikatan.
Persib yang tampil apik sejak babak penyisihan wilayah barat, hingga babak 6 besar di Senayan (Stadion GBK), harus menyerah 1-2 dari PSM yang lolos ke Senayan hanya menyandang status sebagai peringkat ketiga wilayah timur.
Selain itu di babak 6 besar pun kala itu PSM tak menunjukkan potensinya sebagai tim favorit juara. Mereka lolos ke semifinal 'cuma' bermodal dua kali hasil imbang kontra PSMS Medan dan Persegres Gresik.
Tim yang saat itu juga kerap dijuluki Ayam Jantan Dari Timur akhirnya menutup kiprah mengejutkan mereka di Senayan dengan manis setelah di laga final mengandaskan PSMS yang juga sebenarnya lebih difavoritkan dengan skor 2-1.
Seolah sudah 'berjodoh' Persib dan PSM kembali bersua, kali ini di babak 8 besar dan final Perserikatan 1994. Persib yang sudah tak lagi diperkuat winger andalannya Djadjang Nurdjaman tampil solid sejak putaran wilayah barat, babak 8 besar hingga semifinal dan final.
Di laga puncak Persib membuat PSM bertekuk lutut dengan skor 2-0 melalui gol Sutiono dan Yudi Guntara untuk memastikan trofi Perserikatan abadi berada di Jawa Barat karena setelah itu PSSI melebur klub Perserikatan dengan Galatama ke dalam wadah kompetisi baru yang diberi nama Liga Indonesia.
Namun keseluruhan duel Persib kontra PSM di final Perserikatan 1994 tak sedramatis dua pertemuan sebelumnya di semifinal Perserikatan 1990 (jadi menarik dan dibahas banyak orang karena insiden perkelahian antarpemain) serta semifinal Perserikatan 1992 yang menggambarkan bagaimana solidnya pertahanan PSM menahan gempuran Persib.
Bobotoh mungkin setuju jika final sesungguhnya sudah terjadi di babak semifinal saat Persib dipaksa bekerja keras oleh Persija hingga harus mengakhiri pertandingan lewat drama adu penalti setelah di waktu normal dan perpanjangan waktu bermain imbang 1-1.(*)
Komentar
Posting Komentar