Pesan untuk Sepak Bola Indonesia di Balik 'Pengkhianatan' Patrick Cruz

Patrick Dos Santos Cruz saat menjalani trial di klub Swedia IFK Goteborg pada 2015.
Usia Patrick Dos Santos Cruz yang masih muda, 23 tahun, membuatnya cukup berpeluang mengepakkan sayap kariernya lebih lebar.

Tak heran jika dia sampai sekarang masing menyimpan angan-angan berkarier di kompetisi sepak bola Eropa yang bisa dikatakan jadi kiblat dan surga dalam urusan menjalani karier profesional.

Eropa bagaimanapun sampai sekarang adalah benua impian yang menjanjikan karier menjanjikan bagi setiap pemain sepak bola. Hal itu juga yang masih jadi impian mantan pemain Mitra Kukar tersebut.

Meski menjalani karier cukup mulus di level junior dan sempat dipanggil beberapa kali membela Timnas Brasil U-20 dan U-23. Namun Patrick Cruz seolah menemui rintangan berat saat menginjakan karier di level senior atau profesional.

Di negaranya, Patrick Cruz sempat singgah ke beberapa klub yang tergolong lumayan ternama. Di antaranya Corinthians dan Flamengo, namun kariernya tak berlangsung lama.

Pada awal 2015, Patrick Cruz ternyata diketahui sempat mencoba peruntungan di Eropa. Dia diketahui menjalani trial di klub papan atas Swedia IFK Goteborg, namun gagal mendapatkan kontrak dari klub pengoleksi 18 gelar juara Liga Swedia tersebut.

Sebelum ke Swedia Patrick Cruz pun seperti dilansir laman resmi IFK Goteborg sempat menjalani trial di Portugal, namun gagal. Tak bisa mewujudkan mimpi bermain di Eropa karena tak ada klub yang menerimanya, Patrick Cruz kemudian mendapat tawaran singgah ke Indonesia.

Mitra Kukar jadi klub yang cukup 'beruntung' bisa menggunakan jasanya. Terbukti Patrick Cruz bisa menghadirkan efek luar biasa kepada Naga Mekes di turnamen Piala Jenderal Sudirman. Ketajamannya mampu membantu Naga Mekes menjuarai turnamen pengisi kekosongan kompetisi resmi akibat pembekuan PSSI oleh pemerintah.

Setelah menjalani karier selama satu musim di Malaysia bersama T-Team FC. Namanya kembali mencuat setelah Persib mengumumkan telah menjalin kesepakatan dengan pemain jebolan akademi sepak bola Sao Paulo tersebut. Kabar tersebut sontak disambut gembira bobotoh.

Setelah sekitar dua pekan sejak diumumkan bakal bergabung ke Maung Bandung, Patrick Cruz bisa dikatakan jadi sosok yang paling dinantikan kehadirannya oleh manajemen, jajaran pelatih, dan pemain Persib serta tentunya bobotoh.

Namun tiba-tiba, Jumat (6/1/2017), Patrick Cruz memberikan 'kejutan' yang cukup melukai perasaan bobotoh dan Persib. Sejumlah media Vietnam memberitakan namanya sebagai salah satu rekrutmen Sai Gon FC.

Akhirnya Patrick Cruz jadi sosok yang dibenci karena keputusannya pergi ke Vietnam meski agennya sudah menerima uang muka sebagai tanda jadi. Manajer Persib Umuh Muchtar geram dan mengungkapkan kekecewaannya kepada agen karena tak bisa mengawal Patrick Cruz untuk datang ke Indonesia.

Hal lain yang bikin kesal Persib adalah sikap agen yang menuntut Patrick Cruz dikontrak satu paket dengan Alex Willian Costa Silva yang secara kualitas belum diketahui meski rekaman video menunjukkan pemain yang doyan gonta-ganti klub itu punya kemampuan cukup baik.

Satu hari setelah namanya diumumkan sah milik Sai Gon FC, Patrick Cruz membuat video 'pengakuan dosa' yang diunggahnya di akun Instagram. Dia menyampaikan permintaan maaf dan membeberkan alasan kenapa dirinya memilih Liga Vietnam dan membatalkan kesepakatan lisan dengan Persib.

Secara etika, Patrick Cruz menunjukkan dirinya bukan sosok yang bisa menghargai komitmennya. Namun jika disimak lebih dalam, alasannya memilih berkarier di Liga Vietnam, juga bisa dimaklumi dan bahkan jadi pesan tersembunyi, terutama bagi pegiat ataupun pelaku sepak bola di Indonesia.

Salah satunya adalah jaminan menciptakan wadah kompetisi yang bermutu sehingga bisa memberikan kenyamaan kepada para pelakunya, dalam hal ini pemain dan pelatih. Dengan kompetisi berkualitas, baik secara pengelolaan maupun pelaksanaan.

Hambatan non-teknis selama ini memang kerap terjadi di sepak bola Indonesia yang membuat para pelakunya menjadi tak nyaman. Seperti saat terjadinya dualisme PSSI dan dualisme kompetisi. Lalu pada 2015 terjadi gesekan antara pemerintah dan PSSI yang mengakibatkan kompetisi tak berjalan dan berujung sanksi FIFA.

Dampaknya mereka yang menggantungkan hidup dari sepak bola resah meski sejumlah turnamen digelar untuk mengisi kekosongan kompetisi yang setidaknya bisa membuat para pelakunya tetap menyambung kebutuhan hidup.

Tradisi 'konflik' di sepak bola Indonesia inilah yang bisa jadi, membuat para pemain asing tak menjadikan Indonesia sebagai prioritas tujuan karier meski saat ini status Indonesia sudah pulih setelah FIFA mencabut sanksi.

Sepak bola Indonesia yang belum berdiri sendiri atau masih sangat dipengaruhi faktor lain, faktanya sering menimbulkan ketakutan. Salah satunya kompetisi bakal berjalan tak mulus, bahkan terhenti di tengah jalan karena beragam faktor, tak terkecuali agenda politik -padahal sejatinya tak harus dijadikan alasan-.

Tak heran jika kompetisi sepak bola Indonesia untuk ukuran ASEAN magnetnya bisa dikatakan kalah kuat dari Liga Thailand, Liga Malaysia dan Liga Vietnam.

Meski sempat diguncang skandal suap dan pengaturan skor. Tapi dengan kompetisi sepak bola yang lebih tertata rapi, tak heran jika Patrick Cruz ingin menjadikan Liga Vietnam sebagai pijakan untuk mewujudkan mimpinya yang sempat tertunda yakni bermain di kompetisi Liga Eropa seperti yang dijelaskan dia di akun Instagramnya.

"Saya akan ..... (bermain) musim berikutnya di Vietnam, karena saya punya mimpi main di Europa. Jadi aku harus pergi melalui langkah ini sehingga saya dapat mencapai impian saya," jelasnya dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.(*)

Komentar